Gelar guru dan Mualim di tanah Citayam ditelan Zaman
Gelar Guru dan Mualim di tanah Citayam ditelan zaman
Penulis : Mubarok aliZahir
Div. Pendidikan dan Latihan LAKPESDAM PCNU Kabupaten Bogor
Citayam yang notabane penduduk asalnya adalah adat dan budayanya bersuku Betawi. Erat sangat kaitan dengan karakter jawara, guru agama dan santri. Tidak terlepas Pada abad 18 sampai akhir abad 19 panggilan guru dan mualim untuk para pemuka agama dalam hal ini kyiai sangat familiar di lisan dan di telinga sebagai rasa takzim dan takrim kepada para guru dan agama pada masyarakat Citayam khususnya dan masyarakat Betawi umumnya. Kemahaguruan ini ditinjau pada aspek penyebutan ‘Guru’ yang mana secara status keulamaan Betawi ‘Guru’ merupakan level tertinggi setelah ‘Mu’allim’ dan ‘Ustadz’. Seorang ‘Guru’ dalam buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21 (2011), adalah penamaan ulama yang setara dengan Syaikhul Masyayikh, ia dianggap representatif dalam mengeluarkan fatwa agama dalam spesialisasi bidang keilmuan yang dikuasai. Setidaknya KH Ahmad Marzuki bin Mirsod bin Hasnum bin Khatib Sa’ad bin Abdurrahman bin Sultan Ahmad al-Fathani dengan gelar Laqsana Malayang alias Guru Marzuki (1877-1934 M) merupakan salah satu dari mahaguru ulama Betawi yang memiliki peran penting dalam penyebaran dakwah Islam di tanah Betawi. (https://www.nu.or.id/) dan terdapat enam guru dari para ulama Betawi dari akhir pada abad ke-19 dan pertengahan abad ke-20 yang disebut oleh Abdul Aziz dalam Islam dan Masyarakat Betawi (2002) sebagai enam pendekar atau the six teacher, yaitu Guru Mansur (Jembatan Lima), Guru Marzuki (Cipinang Muara), Guru Mughni (Kuningan), Guru Madjid (Pekojan), Guru Khalid (Gondangdia), dan Guru Mahmud Ramli (Menteng). Begitu pun di Citayam pada abad 18 ada beberapa ulama yang bergelar Guru, yaitu Guru Rahab (Abdul Wahab) Lio Hek. Guru Naimin (Citayam), Gur Sariun (Citayam) Guru Gani (Citayam) Guru Naim (Kp. Ceringin Citayam) Guru Muhid (Kp. Ceringin Citayam)Guru Madah (Citayam) Guru Mahmud (Citayam). Pada abad 19 juga ada beberapa ulama Citayam yang bergelar Mualim, yaitu Mualim Bakrie (Kp. Sawah Citayam) Mualim Nashri (Citayam) Mualim Kosasih (Kp. Bambon) Mualim Syafrie Ali (Kp. Bambon Citayam)
Di Era mileneal gelar tersebut semakin terkikis, bahkan memunah. Lahir lah gelar Ustadz sebagai panggilan kehormatan untuk para guru agama. Bahkan panggilan tersebut semakin menjamur di kalangan milenal. Bahkan bukan hanya kepada Sang Ahli Agama. Tapi gelar Ustadz tersebut semakin enteng disandangkan kepada yang bukan Sang Ahli Agama. Semakin berkembang teknologi dan informasi gelar kehormatan tersebut tidak jarang digunakan untuk status sosial yang memiliki strata sosial di tingkat atas untuk memikat pengikutnya.
Adapun istilah Ustadz Selebritis, Ustadz Gaul, Ustadz Entertainis, Ustadz Komersil, Ustadz Panggung…dan lain-lain; semua itu adalah sebutan simbolik bagi selebriti yg turut berdakwah sesuai dengan kapasitas masing2 di media meanstrem dan media sosial. Sementara kalo kita melihat beberapa literasi gelar kehormatan untuk guru, mualim, kyiai dan masyayih tidak main-main harus betul betul orang yang memumpuni ilmu agama. Bukan orang sembarang yang hanya dengan simbolis fashion dan merdu suara.
Siapakah Ustadz?
الأُسْتَاذُأو بروفسور هو لقب يطلق على الأستاذ الجامعي المختص في علم ما، وهو أعلى مرتبة علمية في الجامعة.
"Ustadz atau Profesor adalah gelar bagi profesor universitas spesialis dalam sains, gelar ilmiah
tertinggi di universitas"
ترجع أصول كلمة «بروفيسور» إلى اللغة اللاتينية، وتعني الشخص المعترف له بالتمكن من مجال علمي ما، أو معلم
ذومرتبةعليا.
"Asal usul kata profesor mengacu pada bahasa Latin, yang berarti orang yang diakui mampu dalam bidang ilmiah atau seorang guru tingkat tertinggi."Guru dalam khazanah Arab atau Islam, memiliki banyak istilah yang berbeda. Ada Mudarris, Mu’allim, Muaddib, Musyrif, Murabbi, Mursyid, dan juga Ustadz. Masing-masing istilah memiliki makna tersendiri.
Mudarris (مُدَرِّس), artinya guru, secara lebih spesifik adalah orang yang menyampaikan dirasah atau pelajaran di hadapan murid-murid.
Mu’allim (ْمُعَلِّم), artinya guru juga, tetapi lebih spesifik, yaitu orang yang berusaha menjadikan murid-muridnya tahu, yang sebelumnya tidak tahu. Mu’allim itu melakukan transformasi pengetahuan ,sehingga muridnya mengerti.
Muaddib (مؤدب) atau Musyrif (مشرف), artinya juga guru, tetapi lebih spesifik: Orang yang mengajarkan adab (etika dan moral), sehingga murid-muridnya menjadi lebih beradab atau mulia(syarif).Penekanannya lebih pada Pendidikan moral.
Murabbi (مربى), artinya jiga guru, tetapi lebih spesifik: Orang yang mendidik manusia sedemikian rupa, dengan ilmu dan akhlak. Orientasinya memperbaiki kualitas kepribadian murid-muridnya, melalui proses belajar-mengajar secara intens. Murabbi itu bisa diumpamakan seperti petani yang menanam benih, memelihara tanaman, sampai memetik hasilnya.
Mursyid (مرشد), artinya juga guru, tetapi skalanya lebih luas dari Murabbi. Kalau Murabbi cenderung privasi, terbatas jumlah muridnya, maka Musyrid lebih luas dari itu. Mursyid dalam terminology shufi bisa memiliki sangat banyakmurid.
Ustadz (أستاذ), secara dasar artinya guru. Tetapi istimewa. Ia adalah seorang Mudarris, karena mengajarkan pelajaran. Ia seorang Mu’addib, karena juga mendidik manusia agar lebih beradab. Dia seorang Mu’allim, karena bertanggung-jawab melalukan transformasi ilmiah. Dan dia sekaligus seorang Murabbi, yaitu pendidik yang komplit. Jadi, seorang ustadz itu memiliki kapasitas ilmu, akhlak, terlibat dalam proses pembinaan, serta keteladanan.
Dalam istilah Arab modern, kalau ada istilah “Al Ustadz Ad Duktur” di depan nama seseorang, itu sama dengan “Profesor Doktor”. Jadi Al Ustadz itu sebenarnya padanan untuk Profesor. Ustadz dalam tataran ilmu, berada satu tingkat di bawah istilah Ulama atau Syaikh. Kalau seseorang disebut Ustadz, dia itu sebenarnya ulama atau mendekati derajat ulama. Contoh, seperti Ustadz Muhammad Abdul Baqi’, Ustadz Said Hawa, Ustadz Hasan Al Hudaibi, Ustadz Muhammad Assad, dan lain-lain. Predikat Ustadz itu tidak sesederhana yang kita bayangkan. Di dalamnya terkandung makna ilmu, pengajaran, akhlak, dan keteladanan. Kalau kemudian di Indonesia, istilah Ustadz sangat murah meriah, hal itu karena kita saja yang latah.
Nah, orang-orang yang terlibat dalam dakwah Islam sebut saja sebagai: Da'i (داعى = pendakwah), muballigh (مبلغ = penyampai risalah), khathib (خاطب = orator), 'alim (عالم = orang berilmu), dan yang semisal itu. Tetapi karena sebutan ustadz ala nusantara sudah berurat berakar, kita pun tak mungkin memaksa masyarakat kita untuk serta-merta mengubah sebutan. Dan sah2 saja kalau ustadz masih digunakan dalam pengertian bahasa (لغة) sebagaimana lazimnya,dan bukan istilah.
Tidak mudah bagi kita untuk mendapatkan gelar kehormatan tesebut. Dalam kitab ayuha akh syarah dari kitab ayuhal walad karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali menguraikan syarat-syarat seorang Syech, Guru Atau Mualim yaitu ada empat :
Harus menjadi wakil/wirosah anbia
Harus memiliki 'aalim
Harus menjauhi cinta keduniaan
Harus meninggalkan cinta kemegahan, pangkat dan jabatan.
Luar biasa kang artikel nya
BalasHapusSemangat terus..
Khususnya dlam membumikan kembali budaya NUSANTARA..